top of page
Search
Writer's pictureMerdeka Secretariat

West Papuan students call upon Indonesian President to release political prisoners

Press Release

July 5, 2020


Teks asli dalam bahasa Indonesia di bawah.


The Fakfak Student Movement in Jayapura asserts the immediate release of all political prisoners in West Papua which as of now include 23 individuals in Fakfak, 8 in Wamena, 2 in Jayapura, and 1 in Nabire.

The 23 political prisoners in Fakfak were all members of civil society who participated in a “long march” held on December 1, 2019 as an exercise of their democratic right. The protest action was violently dispersed by members of the military and police who openly fired at the protesters which resulted to the death of 30-year-old Amos Herietrenggi.

These human rights violations must be thoroughly investigated especially since the results of the examination carried out by medical personnel and supervised by the Fakfak police did not give any clear information on the victim’s cause of death.


“The authorities did not fully disclose the information from the autopsy results to the family of the victim. The only information we got was that the victim was struck. The medical authorities should present the results of the autopsy to the concerned parties. The medical authorities also should not allow the security forces to cover up the results of the autopsy, because the victim died due to their shooting. The hospital is expected to work for the sake of humanity and should not cover-up such cases,” said Alfaris Patipi of the Fakfak Student Movement in Jayapura.



“In these incidents, we can conclude that the military has violated Criminal Code Article 2, Law No. 12 of 1951”, said Agustinus Ndandarmana, a member of the Fakfak Student Movement in Jayapura.


“The military violated numerous Civil and Political Rights enshrined in the 1945 Constitution, that is, the Right to Life (No. 1, Article 28-A Paragraph 1); the Right to Freedom of Assembly, Association, and Expression (No. 7, Article 28-E Paragraph 3), and the Right to Freedom from Discrimination (No. 15 Article 28-I Paragraph 2),” said Ebin Hegemur, a member of the Fakfak Student Movement in Jayapura.

According to Elias Hindom, also from the same student movement, the online trials must not continue and be made transparent to the public. Based on a Supreme Court Circular, an online trial process cannot be used unless the region is declared as a COVID-19 emergency zone which Fakfak is not.

“As for the Panel of Judges and the Prosecutors, they should not use the law to discriminate against the 23 political prisoners because they were merely exercising their democratic rights. Do not use the Makar (treason) charges against the Papuan people who are advocating for democracy,” Elias Hindom stressed.


Some of the irregularities that were found in the trial process and detention of the protesters are injustices committed by the state - in this case, law enforcement authorities and also military and police officers. The irregularities include: the detainees were separated from each other; the political prisoners’ lawyers and legal counsel have restricted access to the legal process; alternative charges; journalists and media have restricted access to the legal process; families are not freely able to meet the political prisoners; continuing intimidation of activists and civil society; suppression of democratic space; and covering-up of human rights violations.


Looking at the injustices committed by the State towards the people of Papua, we Fakfak students comprising the Fakfak Student Movement in Jayapura emphasize and demand the following points:

  1. Immediately and unconditionally free all Papuan political prisoners including the 23 in Fakfak, 8 in Wamena, 2 in Jayapura, and 1 in Nabire.

  2. Immediately investigate the shooting of civilians by the Indonesian military on December 1, 2019 in Fakfak.

  3. Stop the online trial of the 23 political prisoners in Fakfak Regency.

  4. The prosecutors should not use the law to discriminate against Papuan political prisoners.

  5. We, Papuan students, firmly ask the president to free all Papuan political prisoners without conditions. If not, we shall mobilize the people in our entire homeland of West Papua.#


Contact Person:

Deewa Dela Cruz merdeka.sec@gmail.com

+63 927 901 9830 (WhatsApp only)



 

ORIGINAL TEXT IN BAHASA INDONESIA

Gerakan Mahasiswa Fakfak di Jayapura menuntut Presiden Republik Indonesia untuk membebaskan seluruh Tahanan Politik di Tanah Papua.

Hal ini di tegaskan Gerakan Mahasiswa Fakfak di Jayapura karena sampai saat ini 23 Tahanan Politik pasca 1 desember di Fakfak dan Tanahan Rasisme diantaranya Wamena 8 orang, Jayapura 2 orang dan Nabire 1 orang.

Kami melihat 23 Tahanan Politik di Fakfak ini murni masyarakat sipil yang bertujuan melakukan long mars pada 1 desember 2019 dan ini adalah sebuah bentuk demokrasi yang dilakukan namun dibubarkan secara paksa oleh pihak TNI/Polri dan juga mengakibatkan satu warga sipil meninggal dunia atas nama Amos Herietrenggi (30 tahun) korban penembakan oleh aparat militer, ini adalah suatu bentuk pelanggaran HAM dan Negara harus mengusut tuntas Penembakan tersebut, karena hasil pemeriksaan yang dilakukan pihak medis dan dikawal oleh kepolisian Fakfak itu pun tidak ada informasi jelas terhadap korban. Karena jika dilihat dari kronologisnya, dapat dikatakan bahwa aparat militer sudah secara tidak bijak menggunakan senjata api untuk menghadang dan menembaki masyarakat sipil secara membabi buta, sementara masyarakat sipil tersebut masih dalam perjalanan menuju pusat kota (tempat tujuannya) dan tidak melakukan tindakan anarkis terhadap siapapun. Dan penembakan tersebut kembali terulang disaat penyisiran di malam hari yang dimulai dari tempat kejadian menuju beberapa perkampungan. Dari semua ini dapat kita simpulkan bahwa aparat militer telah mendiskriminasikan KUHP pasal : 2 UU no. 12 Tahun 1951. Tutur Agustinus Ndandarmana.

Karena dalam peristiwa ini Militer telah melanggar Pengaturan Hak Sipil dan Poitik dalam UUD 1945 Nomor 1 Pasal 28 A ayat 1 ; Hak Untuk Hidup, Nomor 7 pasal 28 E ayat 3 Hak Atas Bebas Berserikat, Berkumpul, dan Mengeluarkan Pendapat, dan Nomor 15 pasal 28 i ayat 2 Hak Untuk Tidak Diperlakukan Diskriminatif. Ujar Ebin Hegemur.

Informasi yang kami dapat dari korban tersebut atas hasil otopsi tersebut bahwa pihak Medis tidak terbuka secara baik kepada pihak korban (keluarga), hanya disampaikan bahwa korban terkena benturan. Dan seharusnya pihak medis juga harus menunjukan hasil otopsi tersebut kepada pihak korban. Pihak medis juga jangan pro terhadap pihak keamanan untuk menutupi hasil otopsi tersebut, karna korban yang meninggal adalah murni penembakan dari aparat militer. Harapannya bahwa pihak rumah sakit juga harus bekerja sesuai hati nurani kemanusiaan dan jangan menutipi kasus yang tidak benar. Tutur Alfaris Patipi. Menurut Elias Hindom, Proses sidang yang dilakukan secara online pun mestinya harus dibatalkan dan harus transparan kepada public, Fakfak belum termasuk darurat covid-19 dan juga berdasarkan edaran Mahkama Agung itu bisa dipakai kecuali wilayah tersebut mengalami zona darurat covid-19. Serta kepada Majelis Hakim dan JPU kami tegaskan jangan mendiskrimansi hukum terhadap 23 tahanan karena apa yang mereka lakukan saat itu adalah bentuk demokrasi, jangan menggunakan dakwaan Makar dan tersangka makar terhadap setiap rakyat Papua yang pro demokrasi. Beberapa kejanggalan yang kami temukan ini merupakan bentuk ketidak adilan yang dilakukan Negara dalam hal ini pihak penegak hukum dan juga aparat TNI/Polri diantaranya ; Penahanan secara Terpisah, Pengacara/advokasi tidak diberikan akses leluasa dalam proses hukum, Dakwaan Alternatif, Pembatasan Akses Terhadap Jurnalis, Keluarga tidak diberikan Leluasa untuk bertemu Para Tahanan, Teror dan Intimidasi terhadap Aktivis dan Masyarakat Sipil, Pembungkaman Ruang Demokrasi, dan Fakta Pelanggaran HAM ditutupi.

Dengan melihat ketidak adilan yang dilakukan Negara terhadap rakyat Papua, kami mahasiswa Fakfak yang terbentuk dalam Gerakan Mahasiswa Fakfak di Jayapura menegaskan dan menuntut ;

  1. Segera Bebaskan tanpa syarat Seluruh tahanan politik papua diantaranya 23 di fakfak, 8 di wamena, 1 di nabire, dan 2 di jayapura.

  2. Negara segera usut tuntas penembakan warga sipil pasca 1 desmber 2019 atas nama amos herietrenggi yang dilakukan aparat militer di fakfak.

  3. Dengan tegas kami menolak sidang online terhadap 23 tapol di kabupaten fakfak.

  4. JPU jangan mendiskriminasi hukum terhadap tahan politik papua.

  5. Mahasiswa papua minta dengan tegas kepada presiden, bebaskan seluruh tahanan politik papua tanpa syarat. Jika tidak kami akan mobilisasi seluruh tanah air west papua.#

Comments


bottom of page