The Merdeka West Papua Support Network, Possible Futures, and the International Indigenous Peoples Movement for Self-Determination and Liberation will be officially opening the West Papua Solidarity Gallery on December 20, 2021, also commemorated as International Human Solidarity Day.
The Solidarity Gallery was conceptualized as an opportunity to bring together an international art community in support of West Papua’s struggle for self-determination, as well as to feature Papua’s very own visual artists and how the Papuan people convey the messages and demands of their struggle through visual art. The opening of the gallery was also set to coincide with the 60th anniversary of West Papua’s National Flag Raising Day which happened on December 1, 1961.
The West Papuan struggle for self-determination is one of the lesser known human rights issues in the world. This is mostly due to a systemic information blockade imposed by the Indonesian Government, alongside vilification tactics to invalidate the people’s campaigns for independence.
In this situation, international advocates are stepping up to popularize the important issues in West Papua that have yet to be seen and heard by the international community. Within Indonesia, solidarity groups are steadfast in holding the Indonesian Government accountable for its atrocities in Papua despite political persecution from the TNI / POLRI.
Contributing artist Ade Martir from the Indonesian People’s Front for West Papua said, “The democratic solution for the West Papuan people is to freely determine their own destiny…[and in the process] also democratizing the Indonesian nation.”
The Yogyakarta chapter of Aliansi Mahasiswa Papua is also publishing the first episode of their series, “Tong Papua” (We are Papua), in the Solidarity Gallery.
The Gallery will be arranged in thematic “rooms”, each room containing artworks focusing on Papuan identity and culture; genocide and ethnocide; ecocide; the people’s struggle; vision of Papuan futures; and international solidarity, respectively.
Free Victor Yeimo and Free Papuan Political Prisoners is one of the campaigns that the solidarity gallery aims to highlight. West Papuan contributing artist Mikael Wafom said, “[We demand the] release of our arrested comrade Victor Yeimo, because [he] is not a perpetrator of racism but a victim [of it].”
The militarization of Papuan communities in the highlands are depicted in some of the art works, just as the Nduga people are entering their fourth Christmas as Internally-Displaced Persons in neighboring regencies and in the jungles, or as refugees in Papua New Guinea.
The Solidarity Gallery is envisioned to be a space of education and creative protest. Romey, one of the contributing artists from Australia said, “Art has always been a way for me to express myself, to connect with ancestors and continue their teachings…I was always taught to never be silent and to take a stand because our voices are powerful.”
This event will feature messages from the artists, a gallery tour, and live musical and dance performances from Papua on December 20, 2021, at 17:00 West Papua time.
As of release, the gallery has collected over 60 art pieces from 30 contributors across the world. It shall continue to be open for submissions. Organizations and individuals who are interested to contribute may send a message to merdeka.sec@gmail.com.
The organizers are also calling for funding and support to maintain the gallery, as well as to assist in the needs of national and international campaigns for West Papua. For more information on donations, visit the Donate / Contact page.
Hari Solidaritas Kemanusiaan Internasional bersamaan dengan dibukanya Galeri Solidaritas Papua Barat secara online
Merdeka West Papua Support Network, Possible Futures, dan Gerakan Masyarakat Adat Internasional untuk Penentuan Nasib Sendiri dan Pembebasan (IPMSDL), akan secara resmi membuka Galeri Solidaritas Papua Barat pada 20 Desember 2021 yang juga diperingati sebagai Hari Solidaritas Kemanusiaan Internasional.
Galeri Solidaritas dikonseptualisasikan sebagai kesempatan untuk menyatukan komunitas seni internasional dalam mendukung perjuangan penentuan nasib sendiri Papua Barat, serta menampilkan seniman visual Papua sendiri dan bagaimana orang Papua menyampaikan pesan dan tuntutan perjuangan mereka melalui seni visual. Pembukaan galeri ini juga bertepatan dengan peringatan 60 tahun Hari Pengibaran Bendera Nasional Papua Barat yang jatuh pada 1 Desember 1961.
Perjuangan Papua Barat untuk penentuan nasib sendiri adalah salah satu masalah hak asasi manusia yang kurang dikenal di dunia. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh blokade informasi sistemik yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia, di samping taktik fitnah untuk membatalkan kampanye rakyat untuk kemerdekaan.
Dalam situasi ini, para advokat internasional melangkah untuk mempopulerkan isu-isu penting di Papua Barat yang belum terlihat dan didengar oleh masyarakat internasional. Di Indonesia, kelompok solidaritas teguh dalam meminta pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia atas kekejamannya di Papua meskipun ada penganiayaan politik dari TNI/POLRI.
Kontributor artis Ade Martir dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua mengatakan, “Solusi demokratis bagi Bangsa West Papua adalah ‘Menentukan Nasibnya Sendiri’…dengan demikian juga mendemokratisasikan bangsa Indonesia.”
Aliansi Mahasiswa Papua Yogyakarta juga menerbitkan episode pertama dari serial mereka, “Tong Papua”, di Galeri Solidaritas.
Galeri akan diatur dalam “ruang” tematik, masing-masing ruangan berisi karya seni yang berfokus pada identitas dan budaya Papua; genosida dan etnosida; ekosida; perjuangan rakyat; visi masa depan Papua; dan solidaritas internasional.
Bebaskan Victor Yeimo dan Bebaskan Tahanan Politik Papua adalah salah satu kampanye yang ingin ditonjolkan oleh galeri solidaritas. Mikael Wafom, seniman dari Papua Barat, berkata, “[Kami menuntut] pembebasan kawan kami Victor Yeimo yang ditangkap…karena [dia] bukanlah pelaku rasis tapi adalah korban [darinya].”
Militerisasi masyarakat Papua di dataran tinggi tergambar dalam beberapa karya seni, seperti halnya masyarakat Nduga yang memasuki Hari Natal keempat sebagai pengungsi di kabupaten tetangga dan di hutan, atau sebagai pengungsi di Papua Nugini.
Galeri Solidaritas diharapkan menjadi ruang pendidikan dan protes kreatif. Romey, salah satu seniman kontributor dari Australia mengatakan, “Seni selalu menjadi caraku untuk mengekspresikan diri, terhubung dengan leluhur dan meneruskan ajaran mereka...saya selalu mengajarkan untuk jangan pernah diam, dan mengambil sikap karena suara kita kuat.”
Di dalamnya kita akan mendengarkan bersama pendapat para seniman, melihat lukisan dalam galeri, dan menikmati musik dan tari langsung dari Papua. Tepatnya pada tanggal 20 Desember 2021, pukul 17:00 waktu Papua Barat.
Pada rilis, galeri telah mengumpulkan lebih dari 60 karya seni berasal dari 30 kontributor di seluruh dunia. Ini akan terus terbuka tanpa batas waktu. Organisasi dan individu yang tertarik untuk berkontribusi dapat mengirimkan pesan ke merdeka.sec@gmail.com.
Penyelenggara juga meminta bantuan dana dan dukungan untuk memelihara galeri, serta untuk membantu kebutuhan kampanye nasional dan internasional untuk Papua Barat. Untuk informasi lebih lanjut tentang donasi, kunjungi halaman Kontak / Donasi.
Yorumlar